
Flayer Ngopini Tambang dan Energi #7
Pada Juni 2021 lalu, pemerintah melalui draft Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 mengumumkan tidak akan lagi mengizinkan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Dalam draft RUPTL disebutkan bahwa PLTU yang statusnya masih rencana setelah 2025 akan diganti menjadi PLT Base Load atau pembangkit yang bisa beroperasi 24 jam. Pembangkit ini akan diupayakan menggunakan mix EBT (Hidro, PLTP, PLTS, Bio dll) dan gas setempat yang ada dengan nilai keekonomian yang dapat bersaing dengan PLTU dan dengan syarat bahwa pembangkit tersebut dapat dioperasikan secara kontinyu selama 24 jam sebagai pemikul beban dasar. Dalam dokumen yang sama, Kementerian ESDM juga mengungkapkan porsi bauran RBT ditargetkan akan mencapai 48 persen.
Beberapa hari yang lalu, dokumen RUPTL telah dirilis yang awalnya direncanakan pada Agustus 2021 oleh PLN. Sementara itu, komitmen Indonesia terhadap Net Zero Emission (NZE) dalam dokumen skenario jangka panjang ketahanan iklim 2050 ditargetkan akan tercapai pada 2060 atau 10 tahun lebih lambat dari Perjanjian Iklim Paris 2015. Jika melihat kondisi saat ini posisi bauran energi terbarukan juga masih melambat dibandingkan denga apa yang telah ditargetkan pada 2025. Hingga akhir 2020 realisasi bauran EBT hanya sebesar 11.2 atau 10.6 GW bahkan 50 persen belum mecapai 23 persen atau 24 GW dari target.
Pada diskusi kali ini, Charles Simabura selaku peneliti Auriga menyampaikan hasil kajiannya mengenai Regulasi dalam Mendukung ET, Apakah Sudah Memadai atau Justru Menghambat? Politik hukum ET dalam konstitusi berisi tentang memberikan hak terhadap warga negara untuk memanfaatkan teknologi termasuk hak energi. Kebijakan energi nasional ada empat, yaitu ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional, prioritas pengembangan energi, pemanfaatan sumber daya energi nasional, dan cadangan penyangga energi nasional. Terdapat beberapa kendala regulasi pengembangan ET, yaitu minimnya regulasi terkait ET sebagaimana haknya regulasi sektor energi lain yang diatur dalam level UU meskipun sedang dibahas di DPR, namun ternyata lebih mengedepankan energi baru; minimnya regulasi menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah dalam pengembangan ET sehingga masih terjebak dengan pemanfaatan energi tak terbarukan pembagian wewenang pusat dan daerah dalam pengembangan ET sangat sentralistrik misalnya dalam pengembangan PLTA dan pemanfaatan ET yang berada pada kawasan lindung; serta inkonsistensi regulasi terkait perencanaan pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan oleh PLN melalui RUPTL.
Materi kedua yaitu tentang Bagaimana Green RUPTL 2021-2030 Mampu Mengakselerasikan ET guna Mencapai NZE 2060 yang dipaparkan oleh Hendra Iswahyudi selaku Direktur Perencamaam dam Pembangunan Infrastruktur EBTKE-Kementerian ESDM. Managemen pengelolaan energi dunia, mengatakan terdapat 3 pilar yang harus diseimbangkan yaitu energy security, energy equity, dan environmental sustainability. Presiden bersama DPR disahkan UU No 16/2016 tentang pengesahaan Paris Agreement yang menjadi tolak ukur pemerintah untuk menurunkan emisi GRK 29% (kemapuan sendiri) atau 41% (dengan bantuan internasional) pada 2030 sesua NDC. Isu green energy dan renewable energy termasuk perlunya early retirement. RUPTL disusun 10 tahunan namun bisa diubah jika diperlukan. Secara bertahap, early retirement akan diwujudkan. Upaya pencapaian target bauran EBT 23% mulai tahun 2025 dan menjaga agar BPP tidak naik yaitu: mendahulukan pembangkit EBT yang tidak banyak meningkatkan BPP; PLTS didorong lebh banyak karena harganya cenderung turun dan memanfaatkan waduk; PLTU cofiring didorong engan tetap menjaga kelestarian lingkungan; Program dedieselisasi dengan pembangkit EBT.
Selanjutnya, materi ketiga yang disampaikan oleh Yusra Khan selaku Anggota Dewan Energi Nasional yang memaparkan tentang Energi Terbarukan sebagai Sumber Utama Listrik Menuju NZE 2060. UU energi sedang berproses dalam upaya mendorong RUU EBT, sebagaimana guna mendukung tercapainya emisi GRK 29%. Arah kebijakan nasional dan pembangunan rendah karbon serta ketahan iklim tertera dalam UU No 16 tahun 2016. Inisiatif Indonesia untuk mencapai SDG-7 yaitu mengurangi emisi GRK, mempercepat peningkatan teknologi inovatif, dan memobilisasi pembiayaan yang cukup untuk melaksanakan program-program pemerintah. Komitmen kita pada Leaders Summit On Climate, 22 April 2021, yaitu: Melaksanakan aksi konkrit perubahan iklim melalui moratorium konversi hutan dan lahan gambut untuk menurunkan kebakaran hutan hingga 82%, Mendorong green development melalui pengembangan Green Industrial Park selua 12.500 Ha di Kalimantan Utara Membuka investasi transisi energi melalui pengembangan BBN, industri baterai litium, dan kendaraan listrik.
Dan terakhir materi tentang Dilema Pengembangan Energi Terbarukan Kedepannya dibawah RUU EBT yang disampaikan oleh Prof. Muktasor selaku Guru Besar Institut Teknologi Surabaya. Gejala pergeseran negara hukum menjadi hukum rimba? Pembahasan RUU EBT dan kebijakan ET perlu memperhatikan: Tujuan nasional dan ketahan nasional, Lanskap geopolitik, dan geostrategic, Komitmen nasional bahwa energi sebagai modal pembangunan, serta Dinamika indonesia sebagai negara hukum. Berulang-ulang Kementerian ESDM melanggar Perpres 22/2017 tentang RUEN atau aturan perundangan yang lebih tinggi. Kemudian dalam UU Migas, ternyata bertentangan dengan UUD 1945, dan sampai sekarang revisinya belum ada. Dalam kelistrikan juga sama, uji MK dilakukan sebanyak 2x, bahkan posisi PLN sebagai sesuatu yang penting. Kini RUPTL direncanakan ada IPP yang persentasenya mencapai 65%, posisi energi yang dianggap penting sebagai hajat hidup orang banyak ini posisinya dipertanyakan. Fitrah dari keenergian itu lintas nasional, tetapi praktek tata kelola yang dominan adalah super sektoral, yang dotandai oleh 3 hal yaitu kegiatan energi untuk meningkatkan perkonomian, menigkatkan nilai tambah dalam negeri, dan menciptakan lapangan pekerjaan. Saat ini, ET hanya memenuhi tujuan terpeliharanya fungsi lingkungan hidup, karena ada persoalan dalam negeri.
Dalam upaya menurunkan emisi, seharusnya Indonesia menggunakan regulasi yang ada, bukan menganut NZE yang tidak ada dalam regulasi kita. Isu transisi energi saat ini lebih banyak dipicu dan dipacu oleh isu dari luar negeri, juga disertai kepentingan swasta/asing, padahal Indonesia punya strategi transisi energi yang khas.
Meskipun dasar hukum yang kuat atau Undang-Undang energi terbarukan belum disahkan oleh pemerintah, namun regulasi terkait ET sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendorong tercapainya transformasi energi terbarukan. Beberapa regulasi terkait ET antara lain Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2016 (Pasal 14) tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang mengamanatkan bahwa pelaksanaan percepatan infrastruktur ketenagalistrikan mengutamakan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Selanjutnya, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, yang mewajibkan penggunaan biodiesel bagi PSO dan non PSO sesuai pasal 18 ayat (1b). Regulasi lain yang juga mendorong transformasi energi terbarukan juga tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas serta Panas Bumi.
Melihat target, rencana dan regulasi yang telah dikeluarkan pemerintah dalam mendorong transformasi energi terbarukan seperti yang telah dipaparkan diatas seharusnya apa yang telah direncanakan dapat diimplementasikan dengan baik dan sesuai taget. Sayangnya melihat implementasi dan porsi bauran energi terbarukan saat ini komitmen pemerintah perlu dipertanyakan dalam hal ini. Seberapa serius komitmen pemerintah akan target transformasi pada energi terbarukan ini?
Narasumber dan Tema Presentasi
Waktu Dan Lokasi
Hari/Tanggal : Kamis/ 7 Oktober 2021
Pukul : 14.00 -16.00 WIB
Tempat : Kanal Youtube Auriga Nusantara