
Flayer Ngopini Tambang dan Energi #9
Pada April 2022 lalu, Ditjen Mineral dan Batu bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Bidang Usaha Pertambangan Batu bara. Tujuan dari PP No 15 Tahun 2022 ini untuk mendorong pemanfaatan batu bara yang maksimal baik bagi negara, badan usaha dan publik. Semangat dari PP ini adalah negara mendapatkan keuntungan dan hak sebesar besarnya dari industri badan usaha tanpa menghambat bisnis dan iklim usaha dalam sektor batu bara.
Terdapat dua tujuan penting dari PP ini, pertama PP ini memberikan kejelasan mengenai kewajiban pajak penghasilan bagi para pengusaha batu bara dan IUP, IUPK, pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan pemegang PKP2B. Tujuan kedua dari PP ini adalah melakukan pengaturan kembali penerimaan pajak dan PNBP dengan cara mengatur besaran tarif PNBP produksi batu bara secara progresif mengikuti kisaran besaran Harga Batu bara Acuan (HBA). Dengan adanya kebijakan ini, pada saat HBA rendah tarif PNBP produksi batu bara tidak membebani pemegang IUPK, sebaliknya pada saat harga komoditas naik seperti saat ini, negara mendapatkan penerimaan negara dari PNBP produksi batu bara yang semakin tinggi juga.
Bersamaan dengan diimplementasikannya PP Nomor 15 Tahun 2022 dengan kondisi saat ini dimana harga acuan batu bara sedang tinggi dan ekspor cenderung meningkat, kebijakan ini cenderung mendorong semangat eksploitasi sumber daya alam. Sementara itu, dalam dua tahun terakhir dari sisi belanja pemerintah untuk provinsi dan kabupaten atau yang biasa disebut dengan skema transfer fiskal daerah mulai mempertimbangkan berbagai variabel terkait lingkungan hidup seperti kawasan hutan, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Diskusi ini bermaksud untuk melihat apakah PP No 15 Tahun 2022 ini sudah sesuai dengan semangat tersebut atau justru kontradiktif. Kemudian melihat bagaimana langkah pemerintah dalam mengantisipasi kebergantungan pada sumber daya alam. Selain itu, diskusi ini juga melihat bagaimana respon sektor usaha dalam merespon PP ini ditengah HBA yang sedang meroket naik.
Pada diskusi kali ini, narasumber pertama yaitu Bapak Djoko Widajatno selaku Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association memaparkan mengenai Bagaimana sektor bisnis dalam menghadapi PP Nomor 15 Tahun 2022? . Beberapa catatan penting dalam paparan ini antara lain: jika dilihat dair manfaat ekonominya, pengusaha tambang telah memberikan 0% penghasilannya kepada negara, sisanya sebanyak 40% digunakan pengusaha untuk mengembangkan usahanya dan membayar berbagai keperluan seperti pekerja. Beban pajak dan non-pajak industry tambang yang harus dibayarkan industri ekstraktif terdapat 35 item/jenis. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, industry pertambangan indonesia adalah yang paling tinggi, yaitu memiliki rentang 25-45%. Fiscal untuk indutri di Indonesia sangat tinggi. Dinamika penyusunan PP ini, batubara dikenakan khusus kepada PKP2B yang pada waktu lalu membayar lebih tinggi daripada perusahaan kontrak karya yang mengerjakan mineral. Terdapat dua jenis PNBP, yaitu denda terhadap Badan Usaha Pertambangan yang tidak memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri (DMO) untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, dan juga dana kompensasi berdasarkan kualitas dan harga batubara acuan.
Peraturan PNK ini dinilai cukup membebani bagi pengusaha tambang. Dari segala tanggung jawab yang dibebankan kepada para penambang, insentif yang diberikan oleh negara sebetulnya masih tergolong minim. Apalagi dengan PNBP yang progresif dan HBA yang tinggi, pajaknya lebih tinggi yang harus dibayarkan.
Materi diskusi kedua disampaikan oleh Bapak Akhmad Misbakhul Hasan dari Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang memaparkan tentang Implementasi transfer fiskal dalam skema DAU, DID, TAPE dan TAKE . Pada 23 Juni, Kemenkue menyampaikan adanya lonjakan yang cukup tinggi mengenai penerimaan negara yang bersumber dari harga-harga komoditas yang sangat tinggi. Dari perspektif belanjanya setelah pendapatan naik, seperti apa mekanisme belanjanya dan digunakan untuk apa?
Hingga 2022, Indonesia masih mengalami defisit hingga 868 Triliun. Sebelumnya, defisit sebelum pandemi masih terkontrol. Kenaikan PPN, harga minyak, hingga kenaikan harga listrik akan mempengaruhi harga lainnya dan juga pastinya menguntungkan pemerintahan. APBN ini digunakan untuk, pertama belanja pemerintah pusat itu sendiri, kedua digunakan untuk pemerintah daerah. Tren TKDD tahun 2018-2022 sekitar 34% dari total APBN. Terakhir sekitar 770 Triliun dana APBN yang digelontorkan ke daerah. Beberapa jenis TKDD (transfer ke daerah dan dana desa) yaitu DBH, DAU dan DAK (ada alokasi khusus). DAU merupakan yang paling besar, dan penggunaannya hampir 93,68% nya digunakan untuk belanja pegawai. Sisanya untuk ruang fiskal untuk lingkungan.
Bagaimana FITRA mendorong adanya EFT ini. Dari keresahan total anggaran fungsi lingkungan hidup yang kurang dari 2% dari total APBN. Alokasi melalui dana desa ini belum seluruh daerah melakukan inovasi terhadap pengaturan lingkungannya. Beberapa daerah sudah melakukan EFT menggunakan skema TAPE/TAKE di Indonesia. Dampak yang sudah dirasakan setelah menerapkan skema TAPE/TAKE tidak berdiri sendiri, memungkinkan adanya intervensi dari program pemerintahan yang lainnya. Akan tetapi setelah diterapkannya skema ini, lahirlah beberapa regulasi di level daerah yang mendorong komitmen laingkungan. Selain itu, masih banyak juga dampak yang dirasakan oleh daerah itu sendiri. Lebih lanjut, daerah yang menerapkan skema TAPE/TAKE berpeluang mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID) lingkungan hidup dan juga Green Climate Fund (GCF).
Harapannya: (1) komitmen anggaran untuk isu-isu Lingkungan Hidup dari skema DAU relatif berat, kecuali ada efisiensi dari setiap OPD untuk berkontribusi terhadap isu lingkungan hidup (Climate Budget Tagging di Level Daerah). (2) Peluang terbesar justru dari skema DID yang sudah memperluas indikator belanjanya untuk isu lingkungan hidup (bukan hanya persampahan). Alokasi DID untuk lingkungan hidup inilah yang seharusnya diperbesar. (3) Skema EFT melalui TANE, TAPE, TAKE & ALAKE menjadi salah satu alternative skema untuk pembiayaan lingkungan hidup ke depan. Replikasi dan pelembagaan skema EFT sedang diupayakan.
Terakhir, materi di tutup oleh Roni Saputra sebagai Direktur Direktorat Penegakan Hukum Auriga yang berbicara tentang bagaimana kekuatan dan dasar hukum PP No 15 Tahun 2022 dan apakah PP ini sudah menjawab persoalan yang terjadi, terutama terkait PNBP di bidang usaha pertambangan batu bara . PP ini lahir guna memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi pemegang IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, atau PKP2B bidang usaha pertambangan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dan/atau penerimaan negara bukan pajak dengan tetap mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara, perlu mengatur perlakuan perpajakan dan/atau penerimaan negara bukan pajak di bidang usaha pertambangan batubara.
Pointnya adalah (1) PP ini ada sistem pemberlakuan surut, PP ini disahkan tapi bisa mengejar persoalan PNBP sebelum PP ini disahkan; (2) pengaturan PNBP berlaku bagi seluruh pemegang IUP, walaupun penerapan tarif royalti diberlakukan bagi pemegang IUPK; (3) pemberlakuan tarif berjenjang 5 layer untuk jenis IUPK dan PKP2B generasi 1 dan PKP2B generasi 1+, dengan sistem pemberlakuan pajak yang berbeda. Lalu bagaimana sih kekuatan PP ini? Bahwa PP ini sudah dibahas sejak 2018. Setidaknya regulasi tentang pertambangan juga sudah cukup banyak perubahan, hingga saat terakhir diberlakukannya UU cipta kerja. Pasal 39 angka 1 UU Cipta Kerja menyebutkan "pelaku usaha tambang batu bara yang melakukan hilirisasi mendapatkan mengenaan royalti 0%. Pemberlakuan PP 15 Tahun 2022 lebih difocuskan pada peningkatan PNBP sektor Pertambangan Batubara.
Sebelum pemberlakuan PP ini, setidaknya ada 1 putusan uji materil terkait dengan UU Minerbang ygang dikabulkan, yaitu putusan No 64 UU tahun 2020 yang mana putusan ini akan terkait dnegan ketentuan pajak dan PNBP. Menariknya dalam ketentuan ini, justru tidak muncul terkait materil. Konsekuensinya, ketika peraturan pemerintah ternyata tidak sejalan dnegan aturan yang lebih tinggi, tentu ini akan menjadi persoalan untuk penerapannya di lapangan. Penerimaan pajak sektor Minerba pada triwulan 1 tahun 2022 meningkat sebesar 154,7%.
Ketika antara UU dengan PP tidak selaras, kalau mengacu kepada konsep UU dengan adanya royalti 0%, terjadi potensi lenyapnya keuntungan dari pendapatan pajak negara. Selain itu juga menguntungkan perusahaan-perusahaan yang diduga masuk dalam PSN. Lalu bagaimana dampaknya bagi pendapatan daerah? Menurut Keputusan Menteri ESDM Nomor 201K/80/MEM/2019 tentang Penetapan Daerah Penghasil dan Dasar Perhitungan DBH SDA Pertambangan Minerba untuk Tahun 2020, total DBH bagi seluruh provinsi sebesar Rp25,65 triliun. Dampak pengenaan royalti 0% juga bisa berdampak kepada daerah, serta provinsi. Dana bagi hasil (DBH) minerba ke daerah yang selama ini menjadi wilayah pengerukan dapat berkurang drastis. Sementara pada saat bersamaan, perusahaan tambang batu bara terus mengeksploitasi daerah tanpa jeda.
Narasumber dan Tema Presentasi
Waktu dan Lokasi
Hari/Tanggal : Rabu/ 29 Juni 2022
Pukul : 14.00 – 16.00 WIB
Tempat : Kanal Youtube Auriga Nusantara