
Flayer Quitcoal Dialogue #3
Proyek besar pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia ternyata terlilit banyak masalah, salah satunya adalah korupsi. Korupsi di sektor ini pun melibatkan banyak pihak, tidak hanya pejabat di dalam negeri, tetapi juga perusahaan-perusahaan asing. Salah satunya adalah korupsi PLTU Tarahan di Lampung yang melibatkan dua kasus yakni korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan, dan korupsi dalam proses tender pengadaan teknologi.
Korupsi dalam pengadaan tanah melibatkan Wendy Melfa (Wakil Bupati Lampung Selatan, sebagai ketua Panitia Pengadaan Tanah (P2T)), dan Hendry Anggakusuma, Direktur PT. Naga Intan, pemegang HGU No. 2, yang menjadi lokasi PLTU Tarahan. Keduanya didakwa dalam dakwaan terpisah. Selaku ketua P2T, Wendy telah memberikan keuntungan secara tidak sah kepada PT. Naga Intan dengan mengganti rugi lahan PT. Naga Intan tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku, yaitu Perpres No. 65 Tahun 2006, dan menetapkan honor panitia tidak sesuai dengan Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor 123/163/1996. Pada 2013, MA memvonis Wendy Melfa selama 10 tahun kurungan penjara - saat jadi tersangka Wendy Melfa menjadi Bupati Lampung Selatan- dan Hendry Anggakusuma dijatuhkan 11 tahun kurungan penjara.
Yang menarik dari kasus pengadaan tanah ini adalah ternyata penuntut umum tidak menjadikan PT. Naga Intan sebagai tersangka, padahal uang ganti rugi atas tanah HGU No. 2 merupakan keuntungan yang diperoleh oleh PT. Naga Intan, karena HGU tersebut merupakan bagian dari kekayaan perusahaan. Maka, sudah seharusnya perusahaan ini dimintakan pertanggungjawaban.
Kasus tender PLTU Tarahan Lot 3 yang menjerat Emir Moeis lebih menarik lagi, karena kasus ini melibatkan beberapa perusahaan berbasis di luar negeri, yaitu Alstom Power Inc, Marubeni Corp, dan Pacific Resources. Selain tiga perusahaan tersebut, patut diduga juga melibatkan dua perusahaan yang berbasis di Indonesia, yaitu Alstom Power ESI dan PT. Artha Nusantara Utama (ANU). Disebut sebagai pemilik PT. ANU adalah anak Emir Moeis, Armand Emir Moeiz, sebagai direktur adalah Zuliansyah Putra Zulkarnain, yang juga sebagai staf ahli Emir Moeis.
Gratifikasi uang kepada Emir Moeis berasal dari dari Konsorsium Alstom Power melalui Alstom Power Inc. dan Marubeni Corp, dengan perantara Pacific Resources (Pirooz Muhammad Sarafi). Pirooz seolah-olah diangkat sebagai konsultan Konsorsium Alstomdan berperan untuk memenangkan tender PLTU Tarahan Lot 3. Pirooz meminta bantuan Emir Moeis yang pada waktu itu merupakan wakil ketua Komisi Energi DPR RI, yang dianggap memiliki pengaruh dalam tender PLTU Tarahan. Selanjutnya Emir Moeis melakukan beberapa kali pertemuan dengan petinggi Alstom Power di Perancis dan Washington DC.
Setelah Konsorsium Alstom Power dinyatakan menang dalam tender PLTU, Pirooz mendapatkan fee sebesar 1% dari nilai kontrak (USD117 juta), kemudian ditransfer ke Emir Moeis. Untuk menyamarkan sumber uang, Perusahaan Pirooz dan Pacific Resources membuat kontrak bisnis batu bara di Berau, Kalimantan Timur, dengan PT. ANU. Setelah uang masuk ke rekening PT. ANU, Emir Moeis memberitahu Zuliansyah Putra Zulkarnain untuk menarik uang yang ditransfer berikut bunganya. Atas penerimaan fee, Emir Moeis divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dari dua kasus korupsi PLTU Tarahan, kasus Emir Moeis masih meninggalkan catatan yang layak untuk diangkat kembali. Paling tidak ada enam pihak yang tersebut dalam fakta persidangan kasus tender PLTU Tarahan, yang belum ditindaklanjuti keterlibatannya. Fakta paling kuat adalah Pirooz dan PT. ANU, dua subjek hukum yang tidak atau belum diproses hukum. Terhadap Pirooz atau pun perusahaannya, setidaknya dapat dijerat oleh penegak hukum sebagai orang yang aktif memberikan suap, atau sebagai orang yang turut serta/membantu terwujudnya delik korupsi suap. Sedangkan terhadap Zuliansyah Putra Zulkarnain maupun PT. ANU dapat dijerat dengan UU No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Memang ada pihak lain dalam kasus suap Emir Moeis, juga yang telah diproses hukum. Namun, pihak lain itu–David Rothschild, William Pompeni, dan Fred Pierucci, serta Marubeni Corp - tidak diproses di Indonesia. Mereka divonis bersalah di US District Court of Connecticut, karena melanggar The Foreign Corrupt Practices Act of 1977, as amended, title 15, United State Code, Sections 78dd-1, atas suap terhadap salah satu pejabat di Indonesia dalam tender PLTU Tarahan, pada 13 Desember 2015 atau setelah Emir Moeis divonis bersalah pada 2014.
Denda $88 juta yang dijatuhkan oleh pengadilan Connecticut sangat besar dan menguntungkan bagi negara yang secara material tidak dirugikan atas kasus suap yang terjadi di Indonesia bukan di Amerika Serikat. Sementara nilai proyek pembangunan PLTU Tarahan senilai ¥34 juta merupakan dana pinjaman dari JBIC (Japan Bank International Coorporation). Tentu, pemerintah Indonesia mempunyai beban membayar utang kepada JBIC. Seharusnya, pemerintah Indonesia juga memperoleh uang atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Emir Moeis.
Berdasarkan hasil diskusi Quitcoal Policy Dialogue (QPD) #3, Jumat, 9 Maret 2018, dengan tema “Indonesia Harus Menuntut”, atas analis kasus yang dibuat oleh Auriga Nusantara, meminta KPK untuk kembali membuka penyidikan terhadap Korupsi PLTU Tarahan, dengan melakukan penyidikan terhadap pihak-pihak yang diduga terkait dengan kasus suap Emir Moeis, termasuk kasus yang diputus di District Court of Connecticut.
Senada dengan Auriga, Arsil, Peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP), turut hadir dalam QPD#3, menyatakan dengan adanya putusan nomor 66/Pid.Sus/TPK/2013/PN. JKT. PST, atas Emir Moeis, membuktikan adanya peran dan keterlibatan konsorsium Alstom Power Inc. Sehingga, perlu ditindaklanjuti. Ditempat yang sama, Eva Achjani Zulfa, Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia, mengatakan jika pemerintah Indonesia hendak menggugat Alstom Power Inc. dkk, Jaksa harus mampu membuktikan kerugian negara akibat suap yang dilakukan. Jika menggunakan sangkaan yang sama seperti di USA, yakni perbuatan suap, tidak bisa dilakukan dengan adanya azas ne bis in idem.
Arsil pun menegaskan, bahwa pemerintah Indonesia bisa melakukan gugatan ganti rugi kepada Alstom dkk. Selain itu, juga harus mengambil langkah dengan membuat daftar hitam (blackist) perusahaan, untuk memberi efek jera kepada perusahaan yang telah melakukan tindakan suap. Apalagi pada proyek-proyek yang berstatus “Objek Vital Nasional”, selayaknya perusahaan-perusahaan seperti itu, tidak hanya dituntut juga tidak boleh lagi berbisnis apa pun di Indonesia.