UU ini mengatur tentang penyelengaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi sumber daya mineral yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi. Penyelenggaraan urusan ini meliputi penetapan wilayah pertambangan, penetapan dan penerbitan izin, penetapan harga dan pengelolaan inspektur tambang dan pejabat pengawas pertambangan. Dengan adanya UU 23/2014 kewenangan perizinan yang sebelumnya menjadi wewenang kabupaten/kota menjadi kewenangan provinsi. Tujuh kewenangan provinsi dalam bidang mineral dan batubara antara lain; (1) penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan, (2) penerbitan izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara dalam rangka penanaman modal dalam negeri, (3) penerbitan izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam rangka penanaman modal dalam negeri, (4) penerbitan izin pertambangan rakyat, (5) penerbitan izin usaha pertambangan operasi khusus untuk pengolahan dan pemurnian dalam rangka penanaman modal dalam negeri, (6) penerbitan izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar dan (7) penetapan harga patokan.
Peraturan Pemerintah ini secara khusus menguraikan tentang bagaimana penetapan Wilayah Pertambangan (WP) yang merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara yang terletak di permukaan tanah maupun di bawah tanah, dalam wilayah daratan atau laut untuk kegiatan pertarnbangan yang memiliki kriteria adanya indikasi formasi pembawa mineral dan/atau batubara serta berpotensi sumber daya tambang. Penyiapan WP dilakukan dalam 2 kegiatan yaitu : Perencanaan WP dan Penetapan WP. Perencanaan WP dilakukan melalui tahapan: inventarisasi potensi pertambangan dan penyusunan rencana WP. Inventarisasi ditujukan untuk mengumpulkan data dan informasi potensi pertambangan sebagai dasar penyusunan rencana penetapan WP yang dilakukan melalui kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan. Pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan data dan inforrnasi usaha pertambangan kepada Pemerintah yang merupakan milik negara dan dikelola oleh Menteri.
Peraturan ini mengatur tentang pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan khususnya dalam pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan pascatambang. Pembinaan dalam penyelenggaran usaha pertambangan meliputi pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan, bimbingan, supervise dan konsultasi termasuk pendidikan dan pelatihan. Pengawasan usaha minerba pemegang IUP, IPR dan IUPK berdasarkan peraturan PP dilakukan oleh bupati/walikota, gubernur dan menteri sesuai kewenangannya. Pengawasan yang dilakukan meliputi penetapan WPR, penetapan dan pemberian WIUP mineral dan bukan logam dan batuan, pemberian WIUP mineral logam dan batubara, penerbitan IPR, penerbitan IUP dan penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemegang IPR dan IUP.
Peraturan ini mengatur tentang kewajiban reklamasi dan pascatambang dan sanksi yang dikenakan kepada korporasi. Kewajiban reklamasi dan pascatambang dalam peraturan ini didefinisikan bagi pemegang IUP eksplorasi, IUPK eksplorasi, IUP Eksplorasi produksi dan IUPK Operasi Produksi. Rencana reklamasi mulai tahap operasi produksi periode lima tahun wajib disampaikan kepada menteri melalui Direktur Jenderal, gubernur dan bupati/walikota paling lambat empat puluh lima hari kalender sebelum berakhirnya pelaksanaan reklamasi periode lima tahun sebelumnya. Hal yang sama juga berlaku untuk rencana pasca tambang. Tahapan perencanaan, penilaian dan persetujuan, pelaksanaan, pelaporan dan pencairan, penyerahan lahan dan sanksi diatur cukup jelas dalam peraturan ini.
PP 9/2012
Jenis & Tarif PNBP Minerba diubah menjadi 81/2019 tentang Jenis dan Tarif atas PNBP
Dalam peraturan ini mengatur tentang tarif royalty berdasarkan produk dan proses penambangan. Perubahan yang paling mendasar pada peraturan yang baru yaitu untuk bijih mentah (ore) dikenakan tarif lebih mahal, sedangkan produk tambang yang sudah diolah atau dimurnikan diberikan tarif yang lebih murah. Perubahan yang terjadi antara lain bijih nikel mengalami kenaikan tarif royalti dari 5 persen menjadi 10 persen harga jual, bijih besi mengalami kenaikan tarif royalti dari 3 persen menjadi 10 persen, pasir besi dari 3.65 persen menjadi 10 persen serta bijih mangan dari 3,25 persen menjadi 10 persen. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa tidak semua tarif royalti komoditas mengalami kenaikan, mineral hasil pengolahan dan pemurnian seperti nickel matte dan ferronickel mengalami penurunan tarif royalti dari 4 persen menjadi 2 persen. Tarif royalti untuk emas yang pada peraturan sebelumnya berada pada kisaran tarif 3.75 – 5 persen menjadi 3.75 persen.
PP 1/2017
Tentang Kegiatan Usaha Minerba Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 mengatur pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. PP ini telah mengalami perubahan sebanyak lima kali sejak 2010. Enam poin perubahan dalam PP nomor 1 Tahun 2017 antara lain : (1) perubahan ketentuan tentang divestasi saham sampai dengan 51 persen secara bertahap, (2) perubahan jangka waktu permohonan perpanjangan untuk IUP dan IUPK, paling cepat 5 tahun sebelum berakhirnya izin sebelumnya, (3) pengaturan tentang harga patokan penjualan mineral dan batubara, (4) kewajiban pemegang kontrak karya untuk merubah izinnya menjadi rezim perijinan pertambangan khusus operasi produksi, (5) penghapusan ketentuan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan penjualan dan (6) pengaturan lebih lanjut terkait tatacara pelaksanaan peningkatan nilai tambah dan penjualan mineral logam.
Omnibus Law UU Cipta Kerja
UU ini tidak spesifik mengatur spesifik sektor mineral dan batubara tetapi semua sektor bisnis. Terdapat sejumlah pasal yang berkaitan dengan pertambangan, mineral dan batubara (minerba) hingga tentang pertambangan di kawasan hutan yang kontroversial dan bermasalah. Pasal-pasal tersebut mengatur insentif royalti, pemanfaatan ruang laut untuk industri batubara dan pasal pemutihan kejahatan kehutanan (tambang di hutan). Auriga menilai bahwa UU Cipta Kerja ini menguntungkan pihak tertentu terlihat dari beberapa pasal seperti; (1) Pasal insentif royalti 0 persen bagi perusahaan tambang minerba yang melakukan hilirisasi dan peningkatan nilai tambah, (2) pemanfaatan ruang laut untuk industri batubara, (3) pasal pidana terhadap pengusaha yang dihapus dan pidana masyarakat dipertahankan “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat…. dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000”. Pada pasal 41 dalam Omnibus Law juga Kembali mempertegas pengenaan pidana pada masyarakat. Pada UU sebelumnya pengenaan pidana hanya 1 tahun, diubah dalam Omnibus Law menjadi 7 tahun penjara. pasal selanjutnya yang betujuan melindungi lingkungan juga dihapuskan dalam UU ini dengan mengganti izin lingkungan menjadi izin usaha.