Dari #QuitCoal ke #GoingRenewableSaat ini sumber energi listrik Indonesia masih didominasi energi fosil, terutama batu bara, yang menjadi bahan utama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Padahal, batu bara seharusnya tidak menjadi pilihan utama dalam mengejar target rasio elektrifikasi dan pertumbuhan ekonomi. Polusi udara akibat pembakaran sumber energi kotor ini membahayakan kesehatan. Emisinya menjadi penyumbang signifikan perubahan iklim global. Pada tahun 2000 emisi gas rumah kaca dari energi berbasis batu bara Indonesia sebesar 317.609 Gg CO2e, lalu pada 2019 meningkat sekitar dua kali lipat menjadi 638.808 Gg CO2e. Oleh karena itu, tambahan 21 GW dari PLTU batu bara melalui proyek listrik 35 GW akan menambah emisi karbon besar-besaran dan membahayakan pemenuhan komitmen pemerintah Indonesia kepada komunitas global untuk menurunkan emisi karbon 26-41% pada tahun 2030. Terhadap situasi ini, AURIGA merekomendasikan pemerintah sesegera mungkin keluar dari jebakan ketergantungan terhadap batu bara dan beralih kepada energi terbarukan. Tahapan itu kami sebut sebagai #QuitCoal, #ResponsibleMining, ke #GoingRenewable. Sebagaimana disampaikan dalam surat Auriga kepada Presiden Republik Indonesia pada 2 Oktober 2017, penahapan ini memungkinkan Indonesia tetap mengoperasikan PLTU yang sudah terlanjur ada, tanpa harus menambah PLTU batu bara baru, dan bertransisi ke energi terbarukan. Tahapan-tahapan #QuitCoal yang diusulkan adalah sebagai berikut: 1. Tidak menerbitkan izin tambang batu bara baru (no new permit for coal mining). Wilayah izin pertambangan batu bara (IUP dan PKP2B) mencapai 19,5 juta hektar, telah mencakup hampir seluruh wilayah berpotensi batu bara yang ada. 2. Tidak memperkenankan penambahan lubang tambang baru di dalam wilayah izin yang sudah ada. Bila ekspor ditiadakan, produksi batu bara saat ini mampu memenuhi seluruh kebutuhan nasional. Di sisi lain, analisis citra satelit Landsat (2016) yang dilakukan AURIGA menunjukkan hanya 10,47% wilayah izin batubara yang telah ditambang. 3. Pelarangan ekspor batu bara (coal export ban), sehingga sepenuhnya produksi batu bara diperuntukan bagi kebutuhan dalam negeri. Pada saat ini hampir 70% produksi batu bara dijual ke luar negeri, yang bahkan tak jarang mengakibatkan pasokan kebutuhan dalam negeri mengalami kekurangan. Padahal, batu bara pada dasarnya lebih dari sekadar komoditas karena bermuatan energi yang merupakan elemen mendasar ketahanan nasional. Selain itu ekspor bahan mentah seperti batu bara merupakan subsidi terhadap industrialisasi di negara tujuan ekspor tersebut. 4. Redesain Kebijakan Energi Nasional, agar berbasis pulau dan potensi lokalnya, serta mencakup desain interkoneksi energi antar pulau di Indonesia. Redesain ini diperlukan karena: (i) Kebijakan energi saat ini masih mengedepankan energi batu bara; (ii) Rancangan Umum Energi Nasional belum sepenuhnya menyesuaikan dengan kandungan energi regionalnya, seperti Pulau Jawa semestinya tidak mengedepankan PLTU batubara tapi seharusnyalah berbasis pada energi terbarukan seperti panas bumi, angin, dan surya; (iii) Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) masih belum diikuti oleh Rancangan Umum Kelistrikan Nasional (RUKN); (iv) Belum adanya panduan rinci penyusunan Rancangan Umum Energi Daerah (RUED) sesuai dengan arahan RUEN. Melengkapi tahapan #QuitCoal, tahapan #GoingRenewable yang diusulkan setidaknya mencakup hal-hal berikut: 1. Mendorong iklim investasi yang berpihak kepada energi terbarukan. 2. Memperbaharui dan mengharmoniskan semua kebijakan dan peraturan perundangan sehingga berpihak pada energi terbarukan, termasuk membangun mekanisme insentif kepada energi terbarukan (dan disinsentif kepada energi batubara); 3. Membesarkan alokasi pembiayaan dan investasi energi terbarukan. 4. Mengganti semua sumber listrik nasional dengan energi terbarukan. |