PLTU Tanjung Kasam merupakan pembangkit yang dioperasikan oleh PT Tanjung Kasam Power sebagai anak perusahaan PLN Batam dengan China Huadian Engineering Co.Ltd (CHEC). Pembangkit ini terletak di Desa Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau. PLTU ini dibangun dengan 2 unit pembangkit yang masing-masing berkapasitas 65 megawatt dan dengan tipe pembangkit subcritical.
Pembangkit ini telah beroperasi sejak tahun 2012 dan merupakan proyek IPP pertama yang menggunakan batubara. PLTU Tanjung Kasam dibangun di atas lahan seluas 32 hektar dengan masa konstruksi 20 bulan.
PLTU Tanjung Kasam dikelola oleh PT Tanjung Kasam Power, dengan saham mayoritasnya dimiliki oleh PT Petra Unggul Sejahtera sebesar 70% dan sisanya dimiliki oleh Intraco Penta sebesar 30%. PT Tanjung Kasam Power adalah perusahaan penyedia tenaga listrik yang membangun dan mengelola PLTU berbahan bakar batubara di wilayah Tanjung Kasam, Batam.
Pembangunan PLTU ini mendapat pinjaman dana dari China Ex-Im Bank. Nilai pinjaman dari China Construction Bank sebesar US$150 juta. PT Intraco Penta Wahana (IPW) didirikan pada bulan Februari 2012 sebagai perusahaan konstruksi alat transportasi dan perdagangan. Batu bara yang digunakan adalah batubara berkalori rendah sekitar 4500 Kcal.
Perusak Hutan Lindung
Direktur PT. Prima Makmur Batam (PMB) – pelaku perusakan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai dan Tanjung Kasam, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Batam 7 tahun penjara dan denda Rp.1 miliar, serta subsider 6 bulan penjara. Ramudah telah terbukti secara sah dan meyakinkan mengakibatkan terlampauinya kriteria baku kerusakan lahan di kawasan hutan lindung Kota Batam tersebut. Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum pada sidang daring tanggal 23 November 2021 menuntut Ramudah dengan pidana penjara selama 9 tahun, denda Rp.1 miliar, dan subsider 6 bulan penjara.
Dalam kasus yang sama dengan perkara tindak pidana korporasi, PT. PMB divonis hakim Pengadilan Negeri Batam dengan pidana denda sebesar Rp.2,5 milyar dalam kasus tersebut.
PT. PMB diketahui melakukan perusakan lingkungan dengan membangun kavling perumahan dan bangunan tanpa izin di dalam kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai seluas 13,846 ha dan Hutan Lindung Tanjung Kasam seluas 5,416 ha, di Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Menurut Yazid Nurhuda, Direktur Penegakan Hukum Pidana, Ditjen Gakkum, KLHK di Jakarta (11/1/2022), sebelum penegakan hukum, pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam sebagai pemangku kawasan telah memberikan peringatan untuk menghentikan seluruh kegiatan ilegal di dalam kawasan hutan tanpa izin tersebut, namun tidak diindahkan oleh PT.PMB.
PT. PMB melanggar Pasal 98 Jo Pasal 116 ayat (1) huruf a UU 32/2009 PPLH dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar. Selain itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 119 UU 32 PPLH selain pidana pokok, untuk kejahatan korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan salah satunya pemulihan lingkungan hidup berupa perbaikan akibat tindak pidana.
Dilaporkan oleh Jakarta Post pada 6 Februari 2013 bahwa, sekitar 300 warga Batam, Kepulauan Riau, melakukan unjuk rasa untuk menutup pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Tanjung Kasam. Mereka menuntut PT PLN menghentikan aktivitas PLTU tersebut karena abu menghujani rumah mereka. Warga Kecamatan Telaga Punggur di Nongsa mengeluhkan penyakit pernapasan dan kulit akibat abu dari pabrik sejak PLTU Tanjung Kasam mulai beroperasi pada akhir 2012. Namun, penduduk dihentikan oleh polisi setempat ketika mereka mendekati manajer pabrik pada 2 Januari 2013 untuk menuntut pabrik ditutup. Pembangkit 2x55 megawatt (MW), yang dibangun oleh kontraktor China, memasok 30 persen dari total permintaan listrik Batam sebesar 383 MW. Pabrik ini menggunakan hingga 30.000 ton batubara per bulan untuk menyalakan generatornya.
Dalam laporan kegiatan kunjungan kerja komisi VII DPR RI ke Provinsi Kepulauan Riau tahun 2018, diperoleh informasi mengenai keberadaan tenaga kerja asing yang tidak ideal. Dari sekitar 400-an karyawan yang ada, 100-an pekerja diantaranya merupakan TKA. Selain itu, di dalam room control, keseluruhan pekerjanya adalah warga negara asal Tiongkok yang sudah tiga tahun bekerja namun tidak bisa berbahasa Indonesia. Parahnya lagi, petunjuk apapun yang digunakan disana juga berbahasa Tiongkok. Padahal, dalam Perpres Nomor 20 Tahun 2018 sudah dikatakan bahwa TKA yang bekerja di Indonesia harus bisa berbahasa Indonesia.
Keluhan warga sekitar
Pihak pengelola PLTU Tanjung Kasam tidak mempedulikan keluhan warga sekitar yang merasa terganggu pencemaran dari sisa buangan batu bara yang digunakan sehingga memicu emosi warga yang tinggal di sekitar PLTU. Warga yang menyeruduk ke dalam PLTU langsung meminta untuk menghentikan aktivitas, seperti menghentikan backhoe yang mengeruk material batu bara.
Situasi mulai memanas ketika pada saat itu, tidak ada satupun staf manajemen perusahaan yang di lokasi. Pengawas lapangan malam, tidak berdaya dan bersembunyi karena mulai terjadi keributan. Kapolsek Nongsa Kompol Ardiaanto mengatakan, pihaknya berupaya untuk meredakan masyarakat sekitar, agar situasi tidak memanas hingga terjadi aksi anarkis.
Susanto, salah satu warga yang tinggal di sekitar PLTU menyatakan, akibat debu dari aktivitas penggunaan bahan batu bara di PLTU Tanjung Kasam, lingkungan warganya dipenuhi debu-debu sisa pembakaran batu bara. Perangkat RT dan RW yang terdiri dari RT 01 dan RT 02 dan Ketua RW 02 sudah melakukan perundingan kepada perusahaan. Perusahaan berjanji akan menyiram di debu-debu batu bara yang dihasilkan dari aktivitas tersebut.
Saat ini manajemen pengelola PLTU Tanjung Kasam mengaku kepada warga bahwa pihak Sucofindo sedang melakukan uji lab debu - debu tersebut di empat titik perumahan warga.
"Tapi kita lihat aja, apakah benar Sucofindo melakukan uji lab. Makanya akan tetap kita pantau terus," kata Susanto kembali.