PLTU Pelabuhan Ratu merupakan bagian dari proyek percepatan atau Fast Track Project (FTP) pembangkit listrik 10 ribu megawatt (MW) tahap pertama, yang pembangunannya mulai dilaksanakan pada September 2007. Menurut rencana, unit pembangkit 1 diperkirakan akan selesai dibangun pada 6 Februari 2010, unit pembangkit 2 pada 6 Mei 2010, dan unit pembangkit 3 selesai dikerjakan pada 6 Agustus 2010. Namun, akibat berbagai kendala pengerjaannya menjadi molor dan baru dapat diselesaikan pada 2013 lalu.
Lokasi PLTU Pelabuhan ratu persis di sisi barat muara Sungai Cimandiri, yang merupakan jalur patahan sesar Cimandiri. PLTU juga berada di jalur yang berisiko tinggi gempa, serta berada di tepi Samudra Hindia, yang juga rawan dari potensi tsunami.
Unit 1 PLTU Pelabuhan Ratu beroperasi pada September 2013. Pengoperasian PLTU tersebut mundur lima bulan dari rencana awal April 2013. Unit kedua direncanakan akan beroperasi pada Desember 2013 dan unit ketiga pada Maret 2014. Sama dengan unit pembangkit pertama, pengoperasioan unit kedua dan ketiga juga mengalami kemunduran selama 5 bulan. PLN beralasan, kemunduran pengoperasian pembangkit itu antara lain disebabkan oleh penundaan pembangunan transmisi 150 kilo volt (kV), yang menghubungkan pembangkit hingga Cibadak, Jabar, akibat robohnya 13 menara listrik akibat pencurian komponen dan permasalahan sosial saat menarik konduktor.
PLTU Pelabuhan Ratu memiliki 3 unit pembangkit listrik berkapasitas 3x350 MW (1.050 MW) yang lebih dikenal sebagai PLTU Jawa Barat 2 Pelabuhan Ratu Operation and Maintenance Services Unit (OMU). Pembangkit ini terletak di Pantai Cipatuguran, Kelurahan Jayanti, Kota Palabuhanratu, Jawa Barat. Dalam pelaksanaan pembangunannya, supervisi selama periode konstruksi dilakukan oleh PT. PLN (Persero) Jasa Manajemen Konstruksi, sesuai surat penugasan Direksi PT. PLN (Persero) No. 00320/121/DIRKIT/2007 tanggal 28 Februari 2007.
PLTU Pelabuhan Ratu dikelola oleh Unit Jasa Pembangkitan (UJP). Kontrak EPC PLTU 2, Pelabuhan ratu, Jabar, ditandatangani pada tanggal 07 Agustus 2007 oleh PT PLN (Persero) dan konsorsium Shanghai Electric Group Co. Ltd. dengan PT. Maxima Infrastruktur, anak usaha PT Truba Alam Manunggal Engineering dengan nilai investasi US$884 juta.
Proyek pembangunan PLTU Pelabuhan Ratu didanai menggunakan Anggaran PLN (APLN) dan utang dari China. Sebanyak 85 % di antaranya bersumber dari kredit supplier, sementara 15 % sisanya dari PLN, bersumber antara lain dari obligasi global dan kreditor ekspor. Nilai Kontrak dari proyek ini sebesar IDR 2.205.075.928.417 dan USD 566,984,920 belum termasuk Value Added Tax.
Pembangkit ini menggunakan bahan bakar batubara yang berasal dari PT Titan Mining Energy dengan volume pasokan sebanyak 1.430.000 ton per tahun dan Bara Mutiara Prima sebanyak 858.000 ton per tahun. Harga yang dipatok adalah Rp 274.999,00.
Oktober 2022, PLN mendukung program pensiun dini pemerintah, yang merupakan skema yang dirancang untuk meningkatkan porsi energi terbarukan di jaringan listrik Indonesia. Melalui program tersebut, masa operasional pembangkit listrik Pelabuhan Ratu akan dipersingkat menjadi 15 tahun yang awalnya 24 tahun, sehingga diperkirakan akan pensiun pada tahun 2037.
PLN melepas PLTU Pelabuhan Ratu ke PT Bukit Asam (PTBA). Meski demikian, upaya alih aset yang nilainya ditaksir mencapai US$ 800 juta atau sekitar Rp 12,3 triliun tersebut masih sebatas perjanjian tahap awal berupa uji kelayakan atau due diligence.
Berdasarkan ANDAL, kegiatan lalulintas kapal tongkang yang membawa batubara untuk operasional PLTU sudah disesuaikan dengan alur pelayaran Pelabuhan Laut Pengumpan Regional. Jarak antara lokasi PLTU dengan rencana kegiatan berjarak sekitar + 2 km
Lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sepakat dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menyebut salah satu penyumbang terbesar polusi udara di Jakarta adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Walhi sendiri menilai emisi dari PLTU yang berbahan bakar batu bara itu menyumbang sekitar 20-30 persen polusi udara di Jakarta.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Walhi bersama Greenpeace pada 2017 silam diketahui setidaknya terdapat 10 PLTU berbahan bakar batu bara yang tercatat menyumbang polusi di Jakarta. PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berkapasitas 1050 MW merupakan salah satu dari 10 PLTU yang tercatat sebagai penyumbang polusi di Jakarta.
Baru saja dioperasikan pada September 2013, PLTU Pelabuhan Ratu mengalami kerusakan menyusul terbakarnya satu trafo di Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) 500 kV Cibinong. Pembangkit yang rusak merupakan unit satu berkapasitas 350 MW. Akibat kerusakan di Bulan Oktober tersebut, sebagian pelanggan mengalami pemadaman selama proses perbaikan kerusakan berlangsung. (www.republika.co.id)