PLTU Indramayu merupakan bagian dari Fast Track Program. PLTU Indramayu, yang berada di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, merupakan salah satu pembangkit yang turut menyokong pasokan listrik wilayah Jawa-Bali, dan merupakan PLTU yang sepenuhnya dibangun oleh PT PLN bukan IPP.
Kapasitas pembangkit yang sudah beroperasi yaitu 990 MW dengan teknologi Subcritical. Pada FTP 1, dibangun sebanyak 3 unit pembangkit dengan kapasitas (3 x 330 MW) dan telah beroperasi sejak tahun 2010 serta merupakan objek vital nasional. Kemudian dilaksanakan pembangunan Unit 4 dan 5 dengan kapasitas 2 x 1.000MW yang direncanakan COD pada tahun 2019. Namun berdasarkan RUPTL 2018-2027 COD diundur menjadi tahun 2026, tetapi tidak terdapat list Unit 5. Sedangkan berdasarkan RUPTL 2021-2030, COD diundur menjadi tahun 2030
PLTU Indramayu ini merupakan pembangkit yang dikelola PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), anak usaha PLN. Total dana investasi yang dibutuhkan mencapai US$ 4 miliar atau Rp 53,2 triliun (kurs Rp 13.300). Pembangunan PLTU ini mendapatkan pinjaman dari JICA pinjaman sebesar $4 M dan $562 M dari CDB, China.
Nilai investasi proyek ini secara persis tidak diketahui, karena terdapat perbedaan dari berbagai sumber. Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) menyebutkan bahwa pembangunan PLTU unit 4 berkapasitas 1.000 MW yang akan menghasilkan listrik untuk kebutuhan di Pulau Jawa dan Pulau Bali ini memiliki nilai investasi yang mencapai Rp 29,5 Triliun. Skema pendanaan proyek ini menggunakan dana APBN dengan pinjaman luar negeri.
PLTU Indramayu sedang melakukan ujicoba penggunaan palet kayu sebagai campuran batu bara untuk menghasilkan listrik. setiap hari PLTU Indramayu rata-rata membutuhkan 4.000 ton batu bara per unit, sehingga total jika 3 unit beroperasi kebutuhan mencapai 12.000 ton. PLTU juga menggunakan batu bara jenis Sub Bituminous
Berdasarkan Andal, untuk memenuhi kebutuhan batubara pada saat operasi, pasokan batu bara akan didatangkan dari Sumatra dan Kalimantan dengan kapal khusus pengangkut batu bara. Dengan menggunakan proses Supercritical Power Plant (SC), maka jumlah batu bara untuk 1000 MW adalah 3,752 juta ton per tahun. Cadangan batubara untuk keperluan operasi PLTU disimpan di lokasi penyimpanan Coal Yard yang mampu menampung kebutuhan selama 60 hari operasi
PLTU Indramayu I (990 MW)
Salah satu nelayan yang tinggal di sekitar PLTU Indramayu I, Desa Ujunggebang, Kecamatan Sukra, mengungkapkan limbah pembangunan PLTU antara lain berupa material pasir dan lumpur. Keberadaan material tersebut bahkan ditemukan di perairan Sukra hingga sejauh 1 mil dari garis pantai.
Akibatnya, nelayan pun dirugikan oleh keberadaan limbah material tersebut. Kerugian tersebut antara lain berupa jaring milik nelayan yang mengalami kerusakan. Bahkan nelayan pun mengalami kesuitan menangkap ikan karena jaring tidak bisa lagi digunakan. Karena itu, para nelayan menuntut ganti rugi atas limbah tersebut kepada tim pembangunan PLTU Sumuradem.
Sementara itu, Ketua Tim Pembangunan PLTU Sumuradem, Bambang Sutopo, mengungkapkan pihaknya akan bertanggungjawab atas keberadaan limbah material yang ada di perairan Sukra. "Kami meminta maaf kepada nelayan dan akan menyelesaikan pencemaran ini langsung kepada nelayan," katanya.
PLTU Indramayu II (2 x 1000 MW)
Salah satu proyek pembangkit baru yang akan didanai Jepang adalah PLTU 2 Indramayu di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Lembaga pemerintah Jepang, Japan International Cooperation Agency (JICA) disebut akan memberikan pendanaan pembangunan unit baru sebesar 1.000 MW.
Sebelumnya, Jepang juga memodali PLTU Indramayu 1 yang telah beroperasi sejak 2010, dengan kapasitas sebesar 990 MW. Rencana pendanaan Jepang juga disebut kontras dengan tren dunia yang saat ini menuju energi yang lebih bersih. Pembangunan tersebut juga bertolak belakang dengan komitmen negara-negara G7 Mei lalu untuk menghentikan segala pendanaan PLTU batubara. Jepang yang termasuk di dalamnya, sepakat untuk menghentikan pembiayaan pembiayaan PLTU batu bara baru.
Menurut aktivis Extinction Rebellion Indonesia Melissa Kowara, tahun ini masyarakat dunia menghadapi kode merah krisis iklim. Melissa menyebut pendanaan PLTU batu bara baru oleh pemerintah Jepang itu sebagai upaya memperparah dampak perubahan iklim.