Awal mula terjadinya kasus korupsi dalam pengadaan lahan PLTU Batubara 2x100 mW Teluk Sirih adalah ketika Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat menyatakan bahwa lokasi rencana pembangunan PLTU di Teluk Sirih, Kecamatan Bungus Teluk kabung, Kota Padang, Propinsi Sumatera Barat seluas ±40 ha seluruhnya merupakan hutan lindung Arau Ilir. Hal tersebut disampaikan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat melalui Surat Nomor 622.1/2449/INTAG tanggal 8 Oktober 2007. Surat tersebut juga merekomendasikan agar pihak PLN menempuh proses pinjam pakai penggunaan kawasan hutan ke Menteri Kehutanan.
Untuk mengikuti ketentuan yang ada, dengan Surat Nomor 522.1/665/Perek-2008 tanggal 19 Mei 2008, Gubernur Sumatera Barat mengajukan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan PLTU Sumatera Barat 2 X 100 mW kepada Menteri Kehutanan. Kemudian pada tanggal 27 Mei 2008, melalui surat Nomor 01202/121/ DIRUT/2008, pihak PT PLN (Persero) Pikitring SBS mengajukan permohonan ijin pinjam pakai Kawasan Hutan untuk lokasi PLTU Sumbar 2 X 100 mW kepada Menteri Kehutanan RI.
Walaupun demikian, Basri Dt. Rajo Nan Sati selaku Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Teluk Kabung menyatakan bahwa 20,5 ha dari tanah yang akan digunakan PLN sebagai lokasi pembangunan PLTU Teluk Sirih merupakan Tanah Ulayat Nagari. Pernyataan tersebut didukung dengan dibuatnya Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang dan Tanah dan Surat Keterangan Lurah Teluk Kabang yang masing-masing ditandatangani oleh Fijsrin selaku Lurah Teluk Kabung Tengah.
Sebelumnya Basri Dr. Rajo Nan Sati telah membuat tim advokasi PLTU Teluk Sirih untuk membantu Pemerintah Kota Padang menyediakan lahan pembangunan PLTU teluk Sirih. Kemudian, untuk melancarkan niatnya, Basri DT Rajo Nan Sati membagi 20,5 ha tanah menjadi 3 persil (bagian):
Pembagian tanah dilakukan untuk memudahkan Basri DT. Rajo Nan Sati mendapatkan siliah jariah dari Pihak PLN. Masing-masing persil dibuatkan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah Dan Surat Keterangan Lurah Teluk Kabung, dimana kedua surat menerangkan bahwa tanah tersebut merupakan tanah nagari sejak tahun 2005 melaui cara izin menggarap dan meladang, padahal pada kenyataannya tanah tersebut merupakan tanah yang tidak bertuan dan merupakan semak-belukar.
Walaupun ijin pinjam pakai untuk pembangunan PLTU di Teluk Sirih masih dalam proses, pembayaran terhadap tanah tetap dilaksanakan atas permintaan Walikota Padang ke PLN. Selanjutnya, Sekertaris Panitia Pengadaan Tanah Pemko Padang (Fatyuddin, S.H.) mengajukan daftar nominative penggarap tanah negara lokasi PLTU Teluk Sirih kepada PT PLN.
Padahal Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sumbar 2 x 100 MW dan sarana Penunjangnya atas nama PT. PLN Persero yang terletak pada kawasan hutan lindung kelompok Hutan Arau Ilir di Teluk Sirih, seluas 51,192 Ha dari Menteri Kehutanan baru keluar tanggal 14 Juli 2009 sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor : SK.424/ Menhut-II/2009. Para pemilik tanah diberikan ganti rugi dengan harga 15.000,-/m2 (lima belas ribu rupiah per meter persegi). Harga tersebut merupakan harga yang ditetapkan oleh Walikota Padang sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Kesepakatan pada hari Kamis tanggal 1 November 2007.
Pengambilan uang ganti rugi dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2008 dari rekening BNI di Cabang Imam Bonjol, Padang. Khusus untuk tanah Nagari dibuatkan rekening atas nama Nuzirmen Peto Kayo, Basri Dr. Rajo Nan Sati dan Idris Dt. Bandaro Basa. Dari seluruh total pembayaran, yang diambil hanya sejumlah Rp 1.610.214.000,00. Di dalam rekening BNI masih terdapat Rp 1.302.101.250,00
Pengambilan uang ganti rugi dihadiri oleh Nuzirmen Peto Kayo, Basri Dr. Rajo Nan Sati, Idris Dr. Bandaro Basa, Syafrudin,Ejisrin, Suardi Dt. Rajo Indo Lauik. Syabirin Imam Malin Permato, Arman Jas Dr. Putih, Asrul Syaer, Kasriadi dan Darwis L. Setelah uang ganti rugi diambil, mereka ke Café n’ Resto Mirama Padang untuk membagi-bagikan uang ganti rugi kepada orang yang dianggap berjasa dalam pengadaan tanah PLTU Teluk Sirih. Termasuk Syafrudin, Esrijin dan Firdaus K yang masing-masing mendapatkan bagian uang sebesar Rp 5.000.000,00 dari jatah uang jasa Tim Advokasi Kenagarian sejumlah Rp 430.000.000,00. Basri Dr. Raja Nan Sati mendapatkan jatah uang sebesar Rp 35.000.000 sebagai Ketua KAN, Rp 10.000.000 Juta dari Tim Advokasi dan Rp 10.000.000 dari tim Amanah.
Kerugian Negara dari kasus korupsi pengadaan lahan PLTU Batubara di Teluk Sirih adalah sebesar Rp 2.913.315.250. Perhitungan tersebut didapatkan dari biaya ganti rugi yang dikeluarkan oleh PLN kepada KAN.