Early retirement atau natural retirement PLTU?

Melalui rilis per tanggal 2 Nopember 2021, Menteri Energy Sumber Daya Alam (ESDM), Arifin Tasrif, menyatakan Indonesia akan memulai pensiun PLTU pada 2031 di Glasgow pada perhelatan COP 26. Langkah memensiunkan segera sebelum waktunya (early retirement) sebagai bukti komitmen pemerintah Indonesia terhadap persoalan pemanasan global, atau apakah terkait dengan keputusan China yang tak lagi mendanai pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara diluar negeri. Disambung dengan rencana Asia Development Bank (ADB) membeli PLTU untuk diberhentikan beroperasi.

Kementerian ESDM menyatakan dalam skema keluar dari batu bara yang direncanakan pada 2046-2056, ada dampak finansial bagi PLN sekitar USD 38 miliar. Hal ini karena masa revaluasi asset PLN pada akhir 2015 diperpanjang 30-40 tahun. Oleh karenanya skema pensiun dini tidak juga harus menambah beban keuangan PLN. Skema lain juga perlu diungkap terang bendarang seperti penentuan PLTU-PLTU yang dipensiunkan. Tentu harus dibedakan mana PLTU yang memang sudah waktu berakhir operasi, setengah jalan atau akan mulai beroperasi, sehingga istilah early retirement menjadi natural retirement.

Padahal dalam program ADB yang disebut Energy Transition Mechanism (ETM), dengan cara membeli PLTU untuk dipensiunkan tanpa harus menunggu masa pakainya berakhir. Meski demikian, masih perlu dilihat lebih jauh lagi tentang ETM yang akan dilakukan oleh ADB. Begitu pun juga skema atau mekanisme kebijakan Pemerintah China terkait proyek-proyek PLTU yang sedang dalam pembangunan maupun telah beroperasi. Diskusi ini bermaksud untuk mengelaborasikan lebih jauh komitmen pensiun dini (early retirement) PLTU atau kah natural retirement kepada pemerintah dan membuka forum diskusi bersama stakeholder lain untuk mendiskusikan persoalan tersebut.

Pada diskusi kali ini, narasumber pertama yaitu Bapak Pramudya selaku Subkoordinator Penyiapan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM memaparkan mengenai Bagaimana peta jalan percepatan pensiun PLTU dengan atau tanpa bantuan negara lain?. Beberapa catatan penting dalam paparan ini antara lain terdapat empat aspek yang perlu dijaga keseimbangannya (PP No. 79/2014 tentang KEN) sehingga tidak memberatkan baik dari sisi penyedia listrik, konsumen, maupun lingkungan terkait ketahanan energi nasional yaitu kemampuan akses, harga terjangkau, ramah lingkungan, dan ketersediaan energi. Menurut data ESDM, kondisi penyediaan tenaga listrik nasional per September 2021 menyatakan tidak hanya PLN sebagai penyedia listrik, terdapat 55 pemegang wilayah usaha diantaranya PLN dengan porsi 85% (porsi kapasitas pembangkit termasuk IPP). Kaitannya dengan PLTU yaitu, PLTU tidak hanya berada di wilayah usaha PLN namun juga berada di wilayah usaha lainnya seperti di morowali, total akan ada 3000 MW di akhir tahun ini di kawasan industry khusus smelter. Dalam RUPTL 2021-2030 “Green RUPTL”, cara mencapai target bauran EBT 23% yaitu mendahulukan pembangkit EBT, PLTS didorong lebih banyak (ada sekitar 4,7 GW PLTS yang dikembangkan di dalam wilayah usahanya), dan PLTU cofiring. Lebih lanjut, perencanaan jangka menengah tidak lagi menambah PLTU Batubara, kecuali yang telah PPA atau sudah terlanjur konstruksi, namun untuk PLTU yang sedang dalam tahap rencana, sudah dikeluarkan dari perencanaan. EBT banyak berada diluar pulau jawa, sementara demand terdapat di dalam Pulau Jawa. Sejauh ini, sebanyak 8.770 MW PLTU sudah dikeluarkan dari perencanaan dan akan menurunkan CO2 sebanyak 64,5 jt ton/tahun.

Pak Pram juga menjelaskan penurunan emisi pada tahun 2060 diperkirakan mencapai sekitar 1,5 M ton. Emisi di sector pembangkit yaitu 0, di sector industry dan transportasi belum ada kesiapan. Di tahun 2057 nyaris 0 karna tidak ada lagi ada penambahan PLTU di RUPTL. Lantas, siapa yang akan menanggung early retirement? Jika PLTU dipercepat untuk pressing out, maka perlu difikirkan untuk dampak ke masyarakat. Sekitar USD 25 Milyar (IDR 355 Triliun) per tahun dana investasi yang diperlukan untuk menuju Net Zero Emission. Bagaimana kita dapat membangun konektifitas antarpulau. Apakah demand kita pindahkan atau bagaimana? Inilah yang masih menjadi pertimbangan dikalangan pemerintahan.

Materi diskusi kedua disampaikan oleh Bapak Surya Darma selaku Ketua Umum METI yang memaparkan tentang Kesiapan Industri menghadapi Pensiun dini PLTU/Coal Phase out. Bagaimana kebutuhan energi 2017-2050? Pertumbuhan energi sekitar 6,1% berdasarkan BPPT, 2019. Beberapa Analisa mengatakan kedepan berada di angka 5,8 – 5,9 % pertumbuhannya, Kondisi batubara saat ini sampai tahun 2050. Diperkirakan dalam perhitungan BPPT, tahun 2046 mungkin sudah mengimpor, bukan hanya mengekspor. Pertumbuhan biodiesel lebih baik dibandingkan dengan listrik. Pertumbuhan pembangkit EBT relative sangat datar dari 5.8 GW dan sekarang 10.4 GW, bahkan pernah lebih baik dari ini. Net Zero Emission (IEA,2021) yaitu emisi karbon yang akan terserap seluruhnya, untuk memenuhi perjanjian paris untuk menekan kebutuhan temperature agar tidak melebihi 1,5°C. ET yang akan berkembang lebih banyak ke solar dan angin, untuk mengurangi emisi karbon. Pada tahun 2050 diperkirakan 90% energi akan dipenuhi oleh tenaga matahari dan tenaga angin, yang totalnya hamper 90% dari ET (khusus listrik). Dan untuk memebuhi kekurangan khususnya untuk bahan bakar biasanya di produksi dari hydrogen yang disebut hydrogen best fuels. Porsi ET di Indo pernah mencapai 21%, namun skrng terlihat 10-12%. Target tahun 2050, transisi energi dari Energi fosil ke ET perlu dilakukan untuk menekan pertumbuhan BAU. Kedua aspek ini akan mendukung aspek independence of energy, energy security, sustainbable development dan low carbon & climate change. Masa energi transisi akan berubah secara perlahan dari energi fosil ke ET secara perlahan-lahan tidak serta merta. Dalam mendorong transisi energi dibutuhkan payung hukum terutama regulasi dan kelembagaan untuk mendukung.

Energi sekarang adalah energi fosil, dan 25 tahun yang akan datang sudah masuk era energi terbarukan, kemudian di tahun 2050 adalah era energi matahari. Yang perlu dilaksanakan pemerintah adalah mengeluarkan payung hukum untuk melaksanakannya early retirement (dengan cost yang perlu ditanggung) atau net zero emission by 2060. Ada atau tidaknya pembangunan ET, tetap memerlukan biaya yang perlu ditanggung. Hanya persoalannya, dana yang dikeluarkan apakah akan digunakan untuk batubara atau untuk ET.

Selanjutnya, materi di tutup oleh Rayyan Hassan sebagai Direktur eksekutif dari Forum NGO di ADB yang berbicara tentang Dampak atau resiko dana hibah program ETM kepada negara penerima (Indonesia dan Philipina). Asia Development Bank (ADB) menjadi Bank pembangunan multilateral regional di Asia. Melalui projek Energy Transtition Mechanism (ETM) oleh ADB, ADB akan membeli PLTU dengan tujuan untuk dipensiunkan sebelum masanya habis. Namun apakah ada rencana atau peraturan Pemerintah Indonesia yang berbasis kebijakan mendukung pemerintah seperti regulasi kualitas udara? Secara individu, dapatkah pemerintah Indonesia mengumpulkan uang untuk pensiunkan PLTU? Disinilah peran ADB untuk membantu ke dalam rencana ini. Sesi diskusi diakhiri dengan tanya jawab dari peserta dan closing statement dari masing-masing narasumber, pada akhirnya saat ini pemerintah sudah mulai melakukan langkah nyata untuk transisi energi yang dimulai dalam RUPTL, tentu hal ini membutuhkan bantuan dana dari luar negeri untuk early retirement mengingat dana yang dibutuhkan cukup besar. Leadership yang kuat dari pemerintah sangat diperlukan untuk menjalankan misi ini yang sudah dituangkan dalam ambisi yang kuat. Semua pihak perlu bahu membahu untuk transisi energi ke energi yang bersih kedepannya.

Narasumber dan Tema Presentasi

Waktu Dan Lokasi

Hari/Tanggal : Rabu/ 8 Desember 2021
Pukul            : 14.00 -16.00 WIB
Tempat         : Kanal Youtube Auriga Nusantara